Suarapesisirnusantara.com |GARUT – Wartawan masih menjadi “bulan-bulanan” tindak kekerasan fisik dan psikis yang dilakukan oleh orang-orang yang merasa risih dan tersinggung dengan tugas yang dijalankannya. Sampai saat ini masih saja terjadi pelecehan, kekerasan, ancaman, pembunuhan terhadap wartawan dan bahkan penyerangan kantor media (pers) tempat wartawan bekerja.
Padahal, profesi wartawan bukan illegal, bukan pula tanpa aturan, tetapi diakui secara hukum dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dan dimuliakan dalam Kode Etik Jurnalistik sebagai pedoman perilaku wartawan dalam menjalankan tugas.
Profesionalitas seorang wartawan dituntut dalam mencari, memperoleh dan menyampaikan informasi kepada masyarakat. Wartawan bekerja dan menulis berita secara objektif dan tidak memiliki pandangan lain demi kepentingan pribadi. Sanksi hukum dan etika pasti diberikan kepada wartawan yang menyimpang dari undang-undang dan Kode Etik Jurnalistik.
Biarkan wartawan bekerja dengan kebebasan yang dimilikinya, jangan dihalangi apalagi disakiti, jangan diremehkan dan dilecehkan. Kebebasan pers salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum (Pasal 2 Undang-Undang Pers). Kebebasan pers bukan liar dan tanpa batas, sehingga mereka tidak perlu ditindak tegas dengan cara-cara yang bringas.
Wartawan yang disakiti, dimaki masih terus terjadi, dilibas dengan cara bringas, diancam dan dibungkam telah menambah deretan panjang bahwa kebebasan pers mulai hilang. Kebebasan menyatakan pikiran dan pendapat merupakan hak asasi manusia yang tidak bisa dihilangkan dan wajib dihormati (Pasal 28 UUD 1945). Agar tidak melanggar konstitusi, maka profesi wartawan harus dihormati.
Profesional:
Profesi wartawan barangkali masih dianggap pengganggu, pencemaran nama baik, pencari kesalahan orang, memeras untuk mendapat keuntungan pribadi yang kesemuanya itu “bernada” negatif dan tidak profesional. Padahal tugas wartawan sangat mulia (Pasal 3 dan 6 Undang-Undang Pers), mencerdaskan masyarakat melalui penyampaian informasi atau berita melalui media, mempopulerkan sesuatu/seseorang yang selama ini belum dikenal, menguak fakta dan realita yang tersembunyi, terus menerus mereka lakukan.
Tugas mencari informasi untuk diberitakan oleh wartawan bukan hal yang mudah tanpa musibah, selalu mengalami hambatan dan tekanan. Fakta yang terjadi, banyak wartawan protes karena profesi dan kebebasannya dikebiri, karena informasi yang akurat susah didapat dan kemerdekaan pers telah diabaikan. Wajar jika kemerdekaan pers diperjuangkan dan terus disuarakan.
Kami sangat tahu dan peka akan keadaan sekitar yang mana semua persoalan itu karena terselip lidah. Karena telah menyinggung profesi wartawan, maka pelaku pelecehan harus mengklarifikasi dan minta maaf (Yudie Thirzano). Dalam hal ini Pemerintah Daerah ( Pemda ) mereka harus mendorong seluruh jajarannya untuk lebih melek media, sehingga kejadian selip lidah tidak terulang lagi.
Mungkin tak hanya itu, terlepas dari persoalan yang telah diucapkan wartawan sehingga menyinggung perasaan, tidak sepantasnya seorang pejabat mengeluarkan kata-kata kotor. Semua itu dapat dilakukan dengan hak bantah jika wartawan tidak menjalankan fungsi profesinya dengan baik atau memberikan pengertian yang logis sehingga diterima oleh wartawan.
Wartawan adalah pilar utama kemerdekaan pers. Oleh karena itu dalam menjalankan profesinya, wartawan mutlak mendapat perlindungan hukum dari negara, masyarakat, dan perusahaan pers. Banyaknya wartawan, seiring dengan perkembangan surat kabar, majalah, tabloid dan portal berita online, termasuk stasiun televisi. Hal itu harus diimbangi dengan sarana pendukung untuk menunjang kualitas dan moralitas wartawan agar menjadi lebih baik sehingga mendapat simpatik.
Wartawan yang profesional menjalankan tugas berdasarkan hukum dan etika akan menjadi orang-orang hebat. Misalnya saja,suatu contoh wartawan yang baik dan dipercaya oleh pemerintahan masa lalu untuk melanglang buana ke luar negeri membawa nama Indonesia.
Perlu diketahui bersama, bahwa Wartawan kini sudah banyak yang bergelar sarjana (S-1) bahkan ada yang bergelar (S-2). Kantor media barangkali tidak akan menerima seseorang yang ingin menjadi wartawan, apabila tidak lulus dari perguruan tinggi. Hal itu barangkali untuk menjaga kehormatan, martabat dan profesi wartawan.
Profesi wartawan sederajat dengan profesi dokter, advokat, notaris, karena wartawan oleh undang-undang diberi hak dan kewajiban yang harus dijalankan secara profesional. Profesi apa pun, jika ditekuni dan dijalankan secara profesional tentu akan mulia dan tinggi derajatnya serta dihormati.
Wartawan adalah profesi dan bukan pekerjaan yang dilakukan sembarangan tanpa moral dan intelektual, wartawan bekerja dengan mematuhi Kode Etik Jurnalistik dan undang-undang, serta memiliki sertifikasi Diklat khusus. Maka dari itu, tidak ada alasan untuk melecehkan dan menghambat tugas wartawan jika pekerjaan itu sudah dilakukan benar-benar secara profesional, ( Penulis Diky Garut ).
Editor : Tim redaksi 3K3.co.id group/ suarapesisirnusantara.com
Sumber : Garutwartakini.co